Dunia maya mengubah wajah dunia, e-mail hingga Facebook menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat madani. Namun, di Indonesia, ibu muda bernama Prita Mulyasari (32) justru dipenjara karena curhat melalui e-mail. Prita adalah satu dari sekian juta orang Indonesia yang memiliki kesadaran berinteraksi di dunia maya, namun justru menjerumuskan Prita ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Tangerang, Banten. Sejak 13 Mei 2009, ibu dua anak balita sekaligus karyawan dibui selama tiga minggu. Awal sengketa hukum dari e-mail pribadi yang dikirim pada 15 Agustus 2008 berisi keluhan Prita atas layanan di Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Serpong Tangerang.
E-mail pribadi tersebut antara lain menceritakan pengalaman Prita yang merasa tidak mendapatkan informasi pasti atas pelayanan medis di RS Omni Internasional. Pada 7 Agustus 2008 pukul 20.30, Prita masuk UGD RS Omni Internasional, dengan keluhan sakit panas selama tiga hari. Ada beda informasi mengenai hasil tes laboratorium. Prita malah mengalami bengkak di tangan, muka, dan mata dan tidak sembuh setelah dirawat empat hari. Akhirnya keluarga memaksa segera dipindahkan, di sebuah rumah sakit di Bintaro.
Prita didakwa telah merusak nama baik dan dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun penjara, Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis dengan ancaman 4 tahun penjara, serta Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda Rp.6 miliar.
Pada 11 Mei 2009, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan RS Omni. Putusan perdata menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan Prita membayar kerugian materiil sebesar Rp.161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp 100 juta untuk kerugian imateriil. Prita, warga Vila Melati, Serpong, Tangerang, mengajukan banding.(1)
Pada 4 Juni 2009, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan yang mendampingi Megawati Soekarno Putri menelepon Wakil Ketua Mahkamah Agung Abdul Kadir Mappong untuk membebaskan Prita. Mappong pun langsung memerintahkan Ketua PN Tangerang untuk membebaskan Prita sekalipun penetapan itu tanpa melewati sidang. Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah meminta PN Tangerang untuk segera membebaskan Prita. Kasus Prita juga menjadi perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemelut hukum antara Prita Mulyasari Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra mendapat sorotan tajam dari masyarakat, sekitar 70.000 warga yang bergabung dalam Causes in Facebook.com bertajuk ”Dukungan bagi Ibu Prita Mulyasari” serta dari para Blogger. Meski mendapat perhatian dari berbagai kalangan publik dan pemerintah, RS Omni tetap enggan mencabut gugatan.(2).
Berikut beberapa pendapat para tokoh:
Nur Kholis (Anggota Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia): Persoalan antara Prita dan RS Omni kalaupun ada merupakan masalah hukum perdata. E-mail yang ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan manusia di sebuah negara beradab. Kalau dianggap ada persoalan hukum, harus dibatasi pada ranah perdata. Yang lebih penting lagi, keberadaan e-mail adalah salah satu sarana untuk kebebasan mengemukakan pendapat bagi warga negara yang dilindungi konstitusi dan piagam HAM dunia. Tidak pada ternpatnya tindakan hukum pidana dalam persoalan ini. Kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.(1)
Iwan Piliang (Aktivis blogger): Aturan yang dikenakan kepada Prita sangat bertentangan dengan norma hukum yang berlaku di dunia. Undang-undang di Indonesia justru dibuat untuk menekan warga.(1)
Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM): Kasus itu merupakan sikap penegak hukum yang memberangus dan menempatkan hak asasi manusia di bawah kepentingan nama baik sebuah perusahaan. Jika hal itu dibiarkan terus berlangsung, akan berbahaya bagi kebebasan berpendapat. Lagi pula yang dilakukan Prita masih dalam lingkup hak pribadi. Selain itu, tidak sepenuhnya dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Walaupun itu terbukti, hak kebebasan berpendapat harus berada di atas segalanya. Penegak hukum terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan kasus Prita.(3)
Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian YLKI): Kejadian yang menimpa Prita praktis membawa preseden buruk bagi upaya konsumen yang ingin mengajukan keluhannya. Semua pihak seyogianya mendukung pembentukan karakter konsumen yang kritis. Penahanan itu pasti berdampak psikologis yang besar. Bisa saja tidak ada lagi pasien yang kritis lantaran takut di-kick back. Padahal, mengadu adalah bagian hak konsumen yang dijamin UU No 8/1999. Respons rumah sakit amat jauh dari bijak. Bukannya merangkul pasien yang merasa dirugikan lewat mediasi, malah berusaha menjebloskan sang pasien.(3)
Rudi Satrio (Pakar Hukum Pidana): Penggunaan UU ITE dalam kasus Prita merupakan hal yang berlebihan. Alasannya, pasal pidana yang dituduhkan memiliki tingkat hukuman yang lebih berat daripada hukuman dalam KUHP. Padahal, inti pidananya sama, yakni pencemaran nama baik. Terkait dengan kasus penahanan orang, hal tersebut memang dapat dilakukan, tetapi tetap saja berlebihan. Aparat hukum tidak bisa menggunakan kacamata kuda. Atas kasus yang menimpa Prita, pasal-pasal pidana yang tertampung dalam pasal-pasal KUHP seharusnya dicabut saja.(3)
Suyono (Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang): Pihaknya punya cukup bukti untuk menahan terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik. Apalagi, ancaman hukuman sesuai dengan Pasal 27 UU ITE di atas 5 tahun penjara sehingga cukup alasan untuk menahan tersangka.(4)
Hendarman Supandji (Jaksa Agung): Memerintahkan eksaminasi berkas perkara dan inspeksi kasus.(4)
Abdul Hakim Ritonga (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum): Saat jaksa menerima berkas perkara tahap I dan meneliti berkas, ternyata menurut jaksa perbuatan Prita juga memenuhi pelanggaran UU ITE. Semula, Prita dikenai Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jaksa lalu menyampaikan petunjuk kepada polisi untuk menambah Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Polisi pun menambahkan pasal UU ITE itu pada dakwaan. Pencemaran nama baik melalui elektronik ancaman hukumannya enam tahun penjara. Dengan alasan itu, Kejati Banten menahan tersangka. Perihal eksaminasi, hal itu dilakukan terhadap siapa saja yang terkait dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan penyimpangan penanganan perkara. ika dari hasil eksaminasi ditemukan pengaruh uang sehingga pasal UU ITE dikenakan, jaksa akan menindak tegas jaksa yang menangani perkara itu.(4)
M Jusuf Kalla (Wakil Presiden): Meminta kepolisian meninjau lagi penahanan Prita Mulyasari. Saya minta kepolisian adil. Periksa dulu, kalau perlu, dicekal tidak ke luar kota, tetapi jangan langsung masuk penjara seorang ibu gara-gara masalah e-mail itu. Saya sudah bicara kepada pihak kepolisian agar ini diperiksa lagi.(4)
Sabam Leo Batubara (Ketua Dewan Pers): Prita hanyalah rakyat sederhana yang sedang dizalimi. Ini tidak adil karena berpotensi melumpuhkan hak rakyat untuk berpendapat, termasuk berkeluh kesah dan kritik.(5)
Megawati Soekarnoputri: Kasus Prita adalah gambaran hukum dan masalah hukum di Indonesia. Ketidakadilan bagi masyarakat yang menuntut haknya masih terjadi.(4)
Presiden Susilo Yudhoyono: Dalam rangka penegakan hukum digunakan juga hati dan rasa keadilan.(4)
Heribertus Hartojo (Pengacara RS Omni Internasional): Kami hingga detik ini masih terbuka untuk berdamai dengan Ibu Prita Mulyasari. Tuntutan Prita agar hasil tes laboratorium yang menyatakan jumlah trombosit 27.000/u1 diberikan tidak dapat dipenuhi. Yang bisa diberikan adalah hasil tes darah kedua, 181.000/ul.(4)
Risma Situmorang (Pengacara RS Omni Internasional): Sejak semula Prita sudah diberi kesempatan mengisi formulir pengaduan oleh pihak rumah sakit. E-mail itu sudah berjudul ”Penipuan RS Omni Internasional” sehingga memberi dampak buruk. Padahal, hasus dijunjung asas praduga tidak bersalah. Ada juga penyebutan secara spesifik nama-nama dokter yang merawat sehingga merugikan mereka. Disebutkan agar hati-hati terhadap dokter Hengky dan dokter Grace.(4)
Patra M Zen (Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia): Aparat hukum haruslah melihat unsur niat dalam kasus itu. Pada surat Prita tampak tidak ada niat untuk mencemarkan nama baik seseorang atau institusi. Pemerintah selayaknya mengkaji kembali UU ITE. Kontrol yang dibangun selayaknya tidak mengebiri hak warga negara.(6)
Agus Sudibyo (Yayasan Sains Estetika dan Teknologi): Pemakaian UU ITE terkait dengan kasus Prita memosisikan Indonesia menjadi negara yang jauh lebih buruk daripada negara otoriter lain. Pemerintah dan DPR harus ikut bertanggung jawab lantaran menelurkan UU ITE yang mengancam kebebasan menyatakan pendapat dari warga negara. Aturan dalam UU ITE aneh. Jika di negara lain kan yang ingin diatur sebetulnya sebatas kejahatan internet (cyber crime), di Indonesia tujuannya malah ingin membatasi kebebasan informasi dan mengkriminalkan warga garanya.(6)
Hendrayana (Ketua eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers): Menyayangkan upaya peninjauan kembali yang sebelumnya ditempuh bersama sejumlah LSM kandas di Mahkamah Konstitusi (MK), yang menolak permohonan.(6)
Dedi Djamaluddin Malik (Mantan anggota Panitia Khusus UU ITE): Membantah anggapan bahwa UU itu dibahas dan disahkan terburu-buru serta tak membuka akses masyarakat untuk memberikan masukan. Prosesnya, berlangsung lebih dari setahun dan DPR juga mengundang sejumlah kalangan akademisi, pakar, dan LSM. Saat dibahas dulu, media massa terkesan tidak tertarik. Mereka lebih senang mengikuti pembahasan RUU Kebebasan Informasi Publik. Namun, UU ITE kemungkinan besar belum dapat langsung diterapkan karena ketentuan itu baru bisa diberlakukan paling lambat dua tahun, menunggu pemerintah membuat peraturan pemerintah sebagai aturan turunannya. Jika dirasa merugikan, ya dicoba saja digalang agar UU ITE direvisi. Angkat saja menjadi wacana publik yang nanti didorong ke arah upaya merevisi itu. Sekarang, bagaimanapun, UU ITE sudah jadi dan sudah diberlakukan.(6)
Irman Putra Sidin (Pengamat hukum tata negara): Kasus pencemaran nama baik terkait Prita seharusnya ditutup. Sebab, terdapat kesalahan penerapan Pasal 27 UU ITE pascaputusan MK. Kasus ini harus ditutup agar tidak menjadi preseden ke depan dan digunakan oleh jaksa lain.(6)
Mahfud MD (Ketua MK): Penolakan uji materi terhadap UU ITE sudah benar. Sebab, memang ada cara-cara mencemarkan nama baik atau memfitnah melalui alat-alat elektronik. Hanya, penerapan UU ITE juga harus mengikuti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).(6).
Kartono Mohamad (Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia): Yang telah terjadi di Tangerang itu membuktikan bahwa umumnya penyedia layanan medis di negeri ini belum berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. Orientasi pada mutu layanan juga belum menjadi acuan.(7)
Reverensi
http://en.wikipedia.org/wiki/Prita_Mulyasari 25 juni 2009
http://maleakhi.com/?p=98
http://jakchat.com/forums/ubbthreads.php/topics/100835/Jailed_for_complaining_about_h
Selasa, 07 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)